Pendidikan Sosiologi

Universitas Pendidikan Indonesia

Menjelajahi Negeri Para Dewa

thumbnail
14-05-2018

Perjalanan menuju negeri para dewa di mulai dengan berkumpulnya para peserta 27 April 2018 pukul 02.00 dini hari. Perjalanan di tempuh ± selama 13 jam dari Kota Bandung untuk sampai di Desa Dieng Kulon, Kecamatan Batur, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah. Perjalanan di tempuh dengan menggunakan bus membuat suasana serta pemandangan alam selama perjalanan menuju Dieng dapat di nikmati dengan baik.

Setelah ± selama 13 jam perjalanan yang ditempuh akhirnya rombongan pun telah sampai di Kota Wonosobo Jawa Tengah tepatnya di tempat rekreasi Kalianget sebagai tempat transit dan pergantian  alat transfortasi yang semula menggunakan bus harus berganti menggunakan kendaraan yang ukurannya lebih kecil yaitu suttle khas Dieng. Kondisi rute perjalanan menuju Dieng yang sempit serta memiliki kontur yang curam membuat kendaraan-kendaraan besar tidak dapat melewati rute tersebut, sehingga dengan menggunakan suttle setiap rombongan dapat sampai dengan cepat di Desa Dieng.

Jarak perjalanan dari tempat transit Kalianget menuju Desa Dieng ± di tempuh dengan waktu 1 jam dengan waktu normal. Keindahan kondisi alam selama menuju Desa Dieng memanjakan mata setiap pengunjung yang melewatinya. Berada di ketinggian ± 2.263 Mdpl yang menjadikan Dieng menjadi Desa tertinggi yang ada di pulau jawa khususnya, dengan kontur alam yang ada menjadi daya tarik sendiri bagi para pengunjung yang berkunjung ke Dieng, sehingga dengan letak geografis tersebut menjadikan Dieng sebagai sebuah “Negeri Di Atas Awan” yang nyata adanya. Hampir setengah dari perjalanan akhirnya rombongan di sambut dengan sebuah gapura megah yang bertuliskan ucapakan selamat datang di Dieng, hal tersebut menandakan bahwa para rombongan telah sampai di tempat tujuan yang menjadi tujuan utama rombongan menuju Dieng.

Setelah perjalanan panjang yang telah kami tempuh selama ini, akhirnya kami beserta rombongan tiba di homestay milik warga sebagai tempat tinggal para rombongan selama kegiatan di Desa Dieng. Di luar dugaan ternyata homestay yang rombongan gunakan tidaklah sekumuh yang dibayangkan, bahkan dari segi fasilitas pun sama seperti rumah warga pada umumnya sehingga tidak ada perbedaan yang mencolok antara homestay dengan rumah-rumah milik warga setempat. Rombongan akhirnya beristirahat sejenak, lalu pada pukul 19.00 rombongan beserta guide lokal menuju rumah tokoh adat Desa Dieng Kulon yaitu Mbah Sumarsono. Mbah Sumarsono adalah seorang pemangku adat Desa Dieng yang baru, dimana dirinya pula adalah selaku orang yang memiliki tugas untuk memotong para “rambut anak gembel” yang di adakan rutin setiap tahunnya oleh para sesepuh serta warga Dieng setempat. Dialog yang di laksanakan antara Mbah Sumarsono dengan rombongan Pendidikan Sosiologi UPI mengenai sejarah penamaan Desa Dieng sendiri serta mengenai ritual adat istiadat pemotongan “rambut gembel” yang rutin di laksanakan. Beliau menjelaskan secara singkat bahwa penamaan atau pemberian nama Dieng sendiri  memiliki arti dimana “Dieng” dalam bahasa setempat adalah “Dahiyang” yang memiliki arti “Tempat Persemayaman Para Dewa”, dengan letak geografis Dieng yang berada pada ketinggian ± 2.263 Mdpl membuat Dieng pantas di juluki “Negeri Di Atas Awan”.

Untuk ritual anak rambul gembel sendiri, beliau menjelaskan bahwa anak rambut gembel merupakan titisan dari para dewa yang bersemayam di Dieng. Sehingga anak rambut gembel menjadi anak yang di istimewakan oleh para masyarakat Dieng setempat. Mbah Sumarsono menjelaskan bahwa antara anak rambut gembel dan anak rambut gimbal itu tidak sama, beliau mengatakan bahwa jika anak rambut gembel merupakan sesuatu yang alami yang tumbuh begitu saja tanpa adanya campur tangan dari manusia, berbeda dengan anak rambut gimbal yang merupakan buatan manusia dengan tujuan seni atau keindahan semata tanpa adanya urusan adat istiadat di dalamnya.

Dari kondisi masyarakat yang ada, Desa Dieng merupakan sebuah desa yang sama seperti desa pada umumnya dimana masyarakatnya berkehidupan layaknya masyarakat desa di tempat lain seperti bertani, berkebun, serta berdagang. Untuk ciri khas Dieng sendiri dari sisi kuliner atau oleh-olehnya adalah buah serta manisan “Carica”, carica adalah sejenis tanaman atau tumbuhan keluarga pepaya namun berukuran lebih kecil. Carica memiliki tekstur seperti salak yang sedikit memiliki rasa asam sehingga lebih cocok untuk dijadikan sebagai manisan dan bijinya yang memiliki rasa manis. Selain carica yang terkenal ke seantero Indonesia adalah “Ketang Dieng” memiliki ukuran yang lebih besar dari kentang pada umumnya membuat para peminat kentang mencarinya. Lalu ada tanaman “Purwaceng” sebagai tanaman herbal khas yang ada di Dieng sebagai asupan energi untuk menambah stamina, menjadikannya sebagai oleh-oleh wajib yang harus di beli oleh para pengunjung yang berkunjung ke Dieng.

Namun ya

Perjalanan menuju negeri para dewa di mulai dengan berkumpulnya para peserta 27 April 2018 pukul 02.00 dini hari. Perjalanan di tempuh ± selama 13 jam dari Kota Bandung untuk sampai di Desa Dieng Kulon, Kecamatan Batur, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah. Perjalanan di tempuh dengan menggunakan bus membuat suasana serta pemandangan alam selama perjalanan menuju Dieng dapat di nikmati dengan baik.

Setelah ± selama 13 jam perjalanan yang ditempuh akhirnya rombongan pun telah sampai di Kota Wonosobo Jawa Tengah tepatnya di tempat rekreasi Kalianget sebagai tempat transit dan pergantian  alat transfortasi yang semula menggunakan bus harus berganti menggunakan kendaraan yang ukurannya lebih kecil yaitu suttle khas Dieng. Kondisi rute perjalanan menuju Dieng yang sempit serta memiliki kontur yang curam membuat kendaraan-kendaraan besar tidak dapat melewati rute tersebut, sehingga dengan menggunakan suttle setiap rombongan dapat sampai dengan cepat di Desa Dieng.

Jarak perjalanan dari tempat transit Kalianget menuju Desa Dieng ± di tempuh dengan waktu 1 jam dengan waktu normal. Keindahan kondisi alam selama menuju Desa Dieng memanjakan mata setiap pengunjung yang melewatinya. Berada di ketinggian ± 2.263 Mdpl yang menjadikan Dieng menjadi Desa tertinggi yang ada di pulau jawa khususnya, dengan kontur alam yang ada menjadi daya tarik sendiri bagi para pengunjung yang berkunjung ke Dieng, sehingga dengan letak geografis tersebut menjadikan Dieng sebagai sebuah “Negeri Di Atas Awan” yang nyata adanya. Hampir setengah dari perjalanan akhirnya rombongan di sambut dengan sebuah gapura megah yang bertuliskan ucapakan selamat datang di Dieng, hal tersebut menandakan bahwa para rombongan telah sampai di tempat tujuan yang menjadi tujuan utama rombongan menuju Dieng.

Setelah perjalanan panjang yang telah kami tempuh selama ini, akhirnya kami beserta rombongan tiba di homestay milik warga sebagai tempat tinggal para rombongan selama kegiatan di Desa Dieng. Di luar dugaan ternyata homestay yang rombongan gunakan tidaklah sekumuh yang dibayangkan, bahkan dari segi fasilitas pun sama seperti rumah warga pada umumnya sehingga tidak ada perbedaan yang mencolok antara homestay dengan rumah-rumah milik warga setempat. Rombongan akhirnya beristirahat sejenak, lalu pada pukul 19.00 rombongan beserta guide lokal menuju rumah tokoh adat Desa Dieng Kulon yaitu Mbah Sumarsono. Mbah Sumarsono adalah seorang pemangku adat Desa Dieng yang baru, dimana dirinya pula adalah selaku orang yang memiliki tugas untuk memotong para “rambut anak gembel” yang di adakan rutin setiap tahunnya oleh para sesepuh serta warga Dieng setempat. Dialog yang di laksanakan antara Mbah Sumarsono dengan rombongan Pendidikan Sosiologi UPI mengenai sejarah penamaan Desa Dieng sendiri serta mengenai ritual adat istiadat pemotongan “rambut gembel” yang rutin di laksanakan. Beliau menjelaskan secara singkat bahwa penamaan atau pemberian nama Dieng sendiri  memiliki arti dimana “Dieng” dalam bahasa setempat adalah “Dahiyang” yang memiliki arti “Tempat Persemayaman Para Dewa”, dengan letak geografis Dieng yang berada pada ketinggian ± 2.263 Mdpl membuat Dieng pantas di juluki “Negeri Di Atas Awan”.

Untuk ritual anak rambul gembel sendiri, beliau menjelaskan bahwa anak rambut gembel merupakan titisan dari para dewa yang bersemayam di Dieng. Sehingga anak rambut gembel menjadi anak yang di istimewakan oleh para masyarakat Dieng setempat. Mbah Sumarsono menjelaskan bahwa antara anak rambut gembel dan anak rambut gimbal itu tidak sama, beliau mengatakan bahwa jika anak rambut gembel merupakan sesuatu yang alami yang tumbuh begitu saja tanpa adanya campur tangan dari manusia, berbeda dengan anak rambut gimbal yang merupakan buatan manusia dengan tujuan seni atau keindahan semata tanpa adanya urusan adat istiadat di dalamnya.

Dari kondisi masyarakat yang ada, Desa Dieng merupakan sebuah desa yang sama seperti desa pada umumnya dimana masyarakatnya berkehidupan layaknya masyarakat desa di tempat lain seperti bertani, berkebun, serta berdagang. Untuk ciri khas Dieng sendiri dari sisi kuliner atau oleh-olehnya adalah buah serta manisan “Carica”, carica adalah sejenis tanaman atau tumbuhan keluarga pepaya namun berukuran lebih kecil. Carica memiliki tekstur seperti salak yang sedikit memiliki rasa asam sehingga lebih cocok untuk dijadikan sebagai manisan dan bijinya yang memiliki rasa manis. Selain carica yang terkenal ke seantero Indonesia adalah “Ketang Dieng” memiliki ukuran yang lebih besar dari kentang pada umumnya membuat para peminat kentang mencarinya. Lalu ada tanaman “Purwaceng” sebagai tanaman herbal khas yang ada di Dieng sebagai asupan energi untuk menambah stamina, menjadikannya sebagai oleh-oleh wajib yang harus di beli oleh para pengunjung yang berkunjung ke Dieng.

Namun yang membuat Dieng istimewa adalah sekelumit ritual adat istiadat yang ada di dalamnya, dimana masyarakat Dieng sangat menghargai dan menghormati adat istiadat yang ada. Dengan seiring kemajuan dan perkembangan zaman, membuat para pemuda Dieng memiliki ide untuk mengenakan ritual adat istiadat yang ada di Dieng kepada khalayak ramai, salah satunya yaitu mengemas ritual adat pemotongan rambut gembel untuk mengkolaborasikannya dengan acara kesenian lainnya salah satunya adalah musik jazz. Dimana setelah kurun waktu ke 9 pada tahun 2018 ini acara yang di kenal sebagai “Dieng Culture Festival”  sebagai suatu acara ritual adat yang dikemas seiring perkembangan zaman dapat menarik minat para pengunjung baik wisatawan domestik maupun mancanegara. Untuk acara Dieng Culture Festival sendiri rutin dilaksanakan pada tanggal 3-5 agustus setiap tahunnya.

Kami beserta rombongan merasa bersyukur dapat menikmati keindahan alam serta adat istiadat yang ada khususnya di Dieng ini, serta sebagai sebuah kehormatan pula bagi kami khususnya rombongan mahasiswa Pendidikan Sosiologi UPI dapat di terima serta berdialog langsung dengan Mbah Sumarsono selaku pemangku adat Desa Dieng Kulon dan sebagai tokoh dalam pemotongan rambut anak gembel, serta Mas Alif sebagai tokoh pemuda penggagas terlaksananya acara Dieng Culture Festival & Jazz

ng membuat Dieng istimewa adalah sekelumit ritual adat istiadat yang ada di dalamnya, dimana masyarakat Dieng sangat menghargai dan menghormati adat istiadat yang ada. Dengan seiring kemajuan dan perkembangan zaman, membuat para pemuda Dieng memiliki ide untuk mengenakan ritual adat istiadat yang ada di Dieng kepada khalayak ramai, salah satunya yaitu mengemas ritual adat pemotongan rambut gembel untuk mengkolaborasikannya dengan acara kesenian lainnya salah satunya adalah musik jazz. Dimana setelah kurun waktu ke 9 pada tahun 2018 ini acara yang di kenal sebagai “Dieng Culture Festival”  sebagai suatu acara ritual adat yang dikemas seiring perkembangan zaman dapat menarik minat para pengunjung baik wisatawan domestik maupun mancanegara. Untuk acara Dieng Culture Festival sendiri rutin dilaksanakan pada tanggal 3-5 agustus setiap tahunnya.

Kami beserta rombongan merasa bersyukur dapat menikmati keindahan alam serta adat istiadat yang ada khususnya di Dieng ini, serta sebagai sebuah kehormatan pula bagi kami khususnya rombongan mahasiswa Pendidikan Sosiologi UPI dapat di terima serta berdialog langsung dengan Mbah Sumarsono selaku pemangku adat Desa Dieng Kulon dan sebagai tokoh dalam pemotongan rambut anak gembel, serta Mas Alif sebagai tokoh pemuda penggagas terlaksananya acara Dieng Culture Festival & Jazz.