Pendidikan Sosiologi

Universitas Pendidikan Indonesia

Sistem Pernikahan dan Warisan di Kampung Naga

thumbnail
27-11-2023



Kampung Naga merupakan daerah yang terletak di Desa Neglasari, Kecamatan Salawu,
Kabupaten Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat. Berbeda dengan yang telah dijelaskan pada
sumber lain, kata Naga dalam nama Kampung Adat Naga tidak selalu berasal dari kata
Nagawir. Dinamakan Kampung Naga karena banyak daerah di Priangan Timur yang diawali
dengan kata “Naga”, seperti desa Nagasari, Nagarawangi, Nagari, dll. Nama Kampung Naga
diambil dari sisi lain sejarah terbentuknya Kampung Naga. Kampung ini diberi nama
'Kampung Naga' bukan berarti perkampungan dengan sejarah berlatar belakang naga atau
kampung dengan penghasil buah Naga, melainkan melihat kilas balik sejarah Kampung Naga
yang pada saat itu mengalami sebuah peristiwa di bumi hanguskan ketika DI/TII datang
melanda mencari massa. Para penerus Kampung Naga kehilangan jejak akan berkas sejarah
dan leluhur pertama yang mendirikan kampung ini, dikarenakan berkasnya ikut terbakar tak
tersisa. Sehingga warga kampung ini sendiri menyebut sejarah kampungnya dengan istilah
Pereum, yang dalam Bahasa Indonesia adalah mati atau gelap. Dan Obor yang
artinya penerangan. diterjemahkan secara singkat yaitu, Matinya penerangan. Hal ini berkaitan
dengan sejarah Kampung Naga itu sendiri. Selain itu, Kampung Naga juga memiliki nilai-nilai
tradisional yang dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari warganya. Salah satu nilai
yang masih dipegang teguh oleh masyarakat Kampung Naga adalah sistem pernikahan dan
sistem waris. Sistem pernikahan dan pewarisan ini erat kaitannya dengan perempuan Kampung
Naga. Eksistensi perempuan sebagai masyarakat pedesaan memang menarik. Perannya dalam
mengendalikan rumah membuat hubungannya dengan rumah semakin dekat dan menarik untuk
dieksplorasi. Rumah adalah tempat peristirahatan anggota keluarganya dan seorang wanita
adalah tempat peristirahatan anggota keluarganya. Dalam arti lain, perempuan adalah rumah
bagi keluarganya di dalam rumah. Lebih lanjut lagi, dalam tulisan ini akan dibahas mengenai
sistem pernikahan dan pewarisan yang ada di Kampung Naga.
Bagi masyarakat Kampung Naga, pernikahan dilakukan secara sederhana. Dalam
melaksanakan pernikahan, masyarakat Kampung Naga tidak menggunakan acara yang besar
dan tidak menggunakan acara hiburan. Dalam menghitung dan menentukan tanggal, mereka
masih meyakini akan adanya hari yang baik sehingga jarang terjadi perceraian dalam
pernikahan tersebut. Sebelum menikah biasanya laki-laki/bujangan dari Kampung Naga wajib
untuk membeli perabotan dapur yang lengkap sesuai yang dapat mereka beli. Apabila memiliki
kemampuan lebih, maka bujangan tersebut dapat membeli emas atau kambing. Sistem
pernikahan masyarakat Kampung Naga bersifat terbuka dan diperbolehkan bagi masyarakat
Kampung Naga untuk menikahi masyarakat dari luar kampung. Namun hanya saja ada satu
syarat utama bagi mereka yang ingin melakukan pernikahan dengan orang di luar kampung,
yaitu seagama. Jika memilih tinggal di Kampung Naga, maka diharuskan bagi pendatang untuk
mengikuti kebudayaan yang ada di Kampung Naga. Adanya peraturan yang lahir dan terus
berkembang hingga saat ini juga sangat kompleks. Tidak hanya mengenai sistem pernikahan,
melainkan hukum warisan yang telah diatur dan disepakati oleh setiap warga Kampung Naga.
Walaupun masyarakat Kampung Naga menganut agama Islam, namun pada hukum warisnya
memiliki perbedaan dengan pembagian hak waris yang ditentukan dalam agama Islam. Pada
dasarnya hukum waris merupakan hukum yang mengatur mengenai pemindahan kepemilikan
harta dari peninggalan pewaris kepada ahli waris serta menentukan siapa saja dan berapa
bagian yang diterima oleh masing-masing ahli waris. Di dalam masyarakat Kampung Naga,
pembagian harta waris dibagi secara merata untuk anak laki-laki dan perempuan. Dengan kata
lain sistem kewarisan yang dipakai oleh masyarakat Kampung Naga adalah kewarisan
individual, di mana para ahli waris mewarisi secara perorangan. Akan tetapi, dalam beberapa
kasus pembagian harta waris ini, masyarakat Kampung Naga lebih mengutamakan anak
perempuan yang paling kecil (bungsu) dalam mendapatkan harta waris terutama rumah. Hal
ini, disebabkan karena masyarakat Kampung Naga berpandangan bahwa anak tertua sudah
memiliki rezeki yang banyak dibandingkan anak bungsu terutama anak laki-laki yang dapat
mencari pekerjaan di mana saja dan apa saja. Warisan dari orang tua berupa harta seperti sawah
dan kebun, diatur dengan pembagian yang adil antara anak laki-laki dan perempuan, tanpa
melakukan perbedaan perlakuan. Dalam situasi di mana tidak ada anak perempuan,
kecenderungan umumnya adalah memberikan rumah kepada anak laki-laki yang merupakan
anak bungsu.
Berdasarkan penjelasan di atas, kita dapat melihat bahwa pernikahan yang dilakukan oleh
masyarakat Kampung Naga masih sederhana. Hal tersebut dapat dilihat dari tidak adanya
perayaan acara besar dan acara hiburan. Sistem pernikahan masyarakat Kampung Naga bersifat
terbuka. Warga Kampung Naga boleh menikah dengan masyarakat di luar kampung dengan
syarat satu keyakinan/agama. Walaupun masyarakat Kampung Naga masih sangat kuat
memegang teguh warisan dari para leluhurnya, tetapi mereka tidak terabaikan dari perhatian
pemerintah termasuk dalam bidang pernikahan melalui sosialisasi peraturan pemerintah.
Pernikahan yang terjadi pada masyarakat di Kampung Naga pun sudah tercatat dengan sah
secara agama dan negara. Untuk sistem pembagian warisan, masyarakat Kampung Naga
membagi warisan mereka secara adil, tidak memandang laki-laki dan perempuan. Jenis harta
yang diwariskan, yaitu berupa sawah dan kebun.