Pendidikan Sosiologi

Universitas Pendidikan Indonesia

Mahasiswa Pendidikan Sosiologi FPIPS UPI Meneliti Akulturasi Masyarakat Bugis di Karimunjawa

thumbnail
26-08-2022

Mahasiswa Program Studi Pendidikan Sosiologi FPIPS UPI telah melaksanakan Kuliah Kerja Lapangan (KKL) di kawasan Karimunjawa, Kab. Jepara, Jawa Tengah dari tanggal 19 – 23 Agustus 2022. Kegiatan ini diikuti oleh sebanyak 13 orang mahasiswa dari angkatan 2019, dengan didampingi satu Dosen Pembimbing Lapangan yaitu Abdul Aziz, di mana salah satu fokus kajian yang ditentukan adalah mengenai eksistensi masyarakat Bugis di Karimunjawa.

Kampung Bugis berada di Desa Telaga, Pulau Kemujan, Kepulauan Karimunjawa, Kab. Jepara, Jawa Tengah. Kampung Bugis berawal dari peristiwa Kahar Muzakkar yang menyebabkan banyaknya masyarakat melakukan pelayaran keluar wilayah Makassar untuk menghindari konflik tersebut. Salah satu masyarakat yang melakukan pelayaran merupakan ayah dari Bapak Abdul Rozak (orang yang dituakan di Kampung Bugis) semula yang berniat ke Semarang, tetapi terdampar di Karimunjawa lalu bertahan hidup disana.

Selama ini, Kampung Bugis familiar diketahui masyarakat berada di Makassar. Tetapi, terdapat pula di Karimunjawa. Terdapat beberapa perbedaan yang menarik antara Suku Bugis di Makassar dan Suku Bugis di Karimunjawa, diantaranya interaksi sosial yang lebih harmonis di tengah-tengah masyarakat multikultural. Selain itu, terdapat akulturasi yang mudah terjadi dari pernikahan antar suku serta komunikasi antar masyarakat mengikuti lawan bicara. Di sisi lain, Rozak menuturkan bahwa keberadaan Kampung Bugis itu sendiri merupakan sebuah upaya untuk menjaga eksistensi Masyarakat Bugis di Karimunjawa. Tentunya, eksistensi Kampung Bugis ini tidak berarti sebagai upaya menandingi adat istiadat yang sudah tumbuh lebih dahulu.

Kampung Bugis terdapat empat dusun, yaitu Dusun Kemujan, Dusun Telaga, Dusun Batulawang, dan Dusun Merican. Dalam dusun tersebut terdapat beberapa suku, antara lain Bugis, Jawa, dan Madura. Walaupun dalam dusun tersebut terdapat beberapa suku, tetapi mereka tetap menjaga kerukunan dengan menunjukkan toleransi antar suku. Pertama, saling gotong royong dalam berbagai kegiatan, misalnya perayaan rutin satu tahun sekali di bulan Mei yang dinamakan Sedekah Laut. Perayaan Sedekah Laut dilakukan sebagai rasa syukur dari nelayan kepada Sang Pencipta untuk mensyukuri kehidupan. Kedua, menyelesaikan masalah dengan cara kekeluargaan dan musyawarah, misalnya ketika terdapat permasalahan kenakalan remaja dalam dusun tersebut maka diselesaikan dengan cara menghadirkan kedua belah pihak dari tokoh-tokoh masyarakat yang dituakan. Hal tersebut untuk menghindari jalur hukum dengan membuat catatan yang berisi rekam jejak permasalahan serta upayanya. Ketiga, tidak ada larangan untuk pernikahan antar suku, misalnya suku Bugis mengajukan uang panai untuk syarat pernikahan, tetapi menyesuaikan dengan kemampuan finansial dari mempelai yang bersangkutan. Selain itu, mereka juga tak lupa untuk menjaga moral generasi muda dengan memberikan edukasi kepada wisatawan asing yang dianggap tidak sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku.

Sementara itu, Dilla Rifa Oktriani, selaku ketua kelompok mahasiswa KKL mengatakan bahwa proses akulturasi yang terjadi di kalangan masyarakat Bugis di Kampung Bugis, Karimunjawa, dapat diadaptasi sebagai salah satu bentuk metode resolusi konflik. Metode tersebut dapat tercermin dari kehidupan masyarakat Kampung Bugis yang selalu mengedepankan dialog dan musyawarah dengan pihak-pihak di luar masyarakat Bugis. Misalnya pada saat perkawinan yang melibatkan masyarakat Bugis dengan masyarakat Jawa, dilaksanakan atas dasar kesepakatan bersama dalam hal mengakomodir adat istiadat masingmasing. Hasilnya, perkawinan tersebut berjalan secara harmonis tanpa mengesampingkan salah satu kelompok masyarakat.

Kemudian, Abdul Azis, selaku Dosen Pembimbing Lapangan melihat bahwa eksistensi masyarakat Bugis melalui adanya Kampung Bugis di Karimunjawa dapat dijadikan sebagai contoh perwujudan Bhinneka Tunggal Ika. Hal ini dikatakannya karena upaya eksistensi yang terjadi tidak bersifat primordial, melainkan sebagai upaya saling memperkenalkan dan menyelaraskan perbedaan kultur agar tetap bisa hidup berdampingan. Berdasarkan penelitian ini, kelompok KKL dapat melihat bahwa kemajuan dari berbagai aspek yang terjadi di Karimunjawa, tidak terlepas dari adanya kebersamaan yang terjadi di Karimunjawa. Sebab, jika tidak ada kebersamaan di dalam melakukan akulturasi, tentu pemajuan dalam berbagai sektor tidak akan berjalan lancar. Kelompok mahasiswa KKL ini berharap, akulturasi yang berjalan lancar di Karimunjawa dapat tetap berjalan dengan baik kedepannya dan bisa memberikan contoh kepada masyarakat luar Karimunjawa.