Pendidikan Sosiologi

Universitas Pendidikan Indonesia

Feature Ciptagelar

thumbnail
14-05-2018

Mobil yang kami tumpangi mulai melaju menuju Kasepuhan Adat Ciptagelar. Untuk mencapai daerah tersebut dibutuhkan waktu sekitar 2 jam terhitung keberangkatan dari Cimaja Pelabuhan Ratu Sukabumi. 2 jam adalah waktu yang normal untuk dilalui melewati akses jalan yang setengahnya masih harus ditempuh dengan kendaraan khusus, karena medan yang berat dan sulit tidak memungkinkan untuk ditempuh dengan menggunakan kendaraan biasa.

Perjalanan untuk sampai di Ciptagelar melewati beberapa kampung kasepuhan yang sampai saat ini masih menjad bagian daripada Ciptagelar yaitu Kasepuhan Sirnaresmi dan Kasepuhan Ciptarasa. Selama perjalanan kami disuguhi pemandangan luar biasa dari puncak gunung Halimun Salak. Kondisi jalan yang berbatu, udara pegunungan yang sangat khas serta pemdangan sekitar yang masih asri menjadi perasaan syukur luar biasa sebagai intro perjalanan menuju Ciptagelar.

Gapura bertuliskan Kasepuhan Ciptagelar menjadi gerbang yang menjadi tanda bahwa kami tiba di tempat yang dituju. Di kanan kiri kami terlihat puluhan leuit (sejenis rumah panggung dengan pintu di bagian atas menjadi tempat penyimpanan padi). Jumlah leuit dapat terhitung berdasarkan jumlah sawah yang dimiliki warga Ciptagelar. Tidak hanya leuit, seluruh desain bangunan disesuaikan bersama menurut keputusan Abah (Pemimpin adat) dan Rorokan (Pembantu Abah) sehingga bentuk bangunan di sana mirip satu sama lain berbentuk panggung, menggunakan anyaman bambu dan beragam perkakas rumah tangga yang masih sangat khas. Meskipun sangat khas Kasepuhan Ciptagelar telah mengadaptasi teknologi bahkan mereka dapat menciptakan teknologi sendiri untuk memudahkan kehidupan mereka. Ini dibuktikan dengan tersedianya aliran listrik, saluran televisi yang sudah terjangkau bahkan mereka dapat menciptakan saluran televisi dan radio sendiri sebagai sarana komunikasi antara pemerintahan kasepuhan adat dengan warga di sana.

Ciptagelar adalah perpaduan antara kebijaksanaan lokal dengan teknologi. Di satu sisi kehidupan sosial mereka sangat tradisional dengan seluruh filosofis bijak yang terus diwariskan kepada generasi mereka selama ratusan tahun. Di sisi yang lain mereka juga menerima teknologi sebagai bagian daripada kehidupan mereka. Masyarakat Ciptagelar laki-laki diwajibkan untuk menggunakan ikat kepala dalam aktifitas mereka. Filosofi ini bermakna bahwa laki-laki harus senantiasa menjaga pikiran mereka. Sementara perempuan diwajibkan untuk memakai sinjang/sarung yang diikat di bagian pinggul ini berarti perempuan harus menjaga kehormatan mereka.

Dalam kehidupan masyarakat Ciptagelar meskipun perpaduan antara teknologi dan tradisi sangat harmonis, ada satu hal yang tidak dapat disentuh oleh teknologi yaitu cara mereka untuk bertani. Dari mulai tradisi menanam hingga memanen harus terus memakai cara yang telah diwariskan kepada mereka selama ratusan tahun. Cara tersebut telah membuktikan bahwa Ciptagelar adalah daerah dengan ketahanan pangan yang sangat kuat. Mereka hanya panen satu kali dalam setahun akan tetapi persediaan beras mereka sudah cukup untuk 95 tahun.

Tradisi dan teknologi ini terus diawasi oleh Abah Ugi (pimpinan adat) besera 9 Rorokan yang membantu abah dalam berbagai urusan. Uniknya status sosial Abah dan Rorokan ini diwariskan terus menerus kepada turunan mereka. Sehingga ketika mereka terlahir dari anak rorokan pertanian (kami mengatakannya) maka anak tersebut akan terus seumur hidup menjadi penerus ayahnya menjadi Rorokan bidang pertanian. Sistem pemerintahan ini sudah teruji selama ratusan tahun dan memberikan keberkahan bagi Kasepuhan Ciptagelar.

Kami merasa bersyukur dapat menikmati bagaimana alam, manusia dan teknologi terjaga keseimbangannya di Ciptagelar. Surga kecil yang tersembunyi tempat yang damai, tentram, dimana orang tidak takut kelaparan, dan hukum kausalitas benar-benar mereka pahami. Dimana mereka menjaga alam, alam akan menjaga mereka.